“Taxiiii,...”
Sebuah taxi biru menuju ketempat dimana Jenn berdiri.
“Jalan Jahe no 89 ya pak..”
Taxi meluncur dengan segera ke alamat mana yang Jenn tuju. Sebuah rumah yang tak begitu besar tapi sangat asri dan terawat. Rumah itu sepertinya kosong. Jenn mengetuk pintu rumah itu berkali-kali tapi tak ada yang menyahut. Jenn lalu bertanya pada seseorang di dekat rumah itu.
“Permisi bu,. Apa benar yang punya rumah itu bernama Pak Anwar?”
“Iya neng bener. Ada apa ya kalau boleh tau? Si eneng teh naon? ”
“Oh anu bu, saya temannya Evan dan Advan. Kok rumahnya kosong bu? Apa mereka sedang pergi?”
“Ooh itu neng, Bu Anwar dan anak-anakknya di rumah sakit. Itu tuh yang kembarannya si Evan. Kan dia denger-denger nih neng,..” tampak keraguan di wajah Ibu itu.
“Denger-denger gimana bu?”
“Ya kata orang-orang sih dia kena HIV/AIDS neng. Si eneng belon tahu yak?”
“Ya Allah...” pikiran Jenn benar-benar kacau. Jenn masih tidak percaya dengan apa yang terjadi pada Advan.
“Mengapa Advan tak memberi kabar padaku?“ batin Jenn. “Lebih parah lagi kenapa Evanpun ngga’ ngasih tahu gue kalau adiknya sakit? Gue ngga’ tau harus gimana lagi.” Jenn tertunduk lemas di depan rumah Advan.
“Jenn ?” suara itu mengagetkan Jenn. Jenn lalu berusaha menyembunyikan air matanya yang sudah tidak bisa dibendung lagi.
“Lo kenapa? Kok lo kesini?”
“Evan.. ” Jenn langsung memeluknya. Kembali air mata Jenn tumpah di bahu Evan. Evan yang awalnya kebingungan dengan tingkah Jenn, kini ia mengerti.
“Lo udah tau?”
“Kenapa lo ngga’ ngasih tahu gue. Gue kan sahabat lo. Pacar adek lo. ”
Mulanya Evan shock dengan perkataan Jenn. Lalu Evan masuk ke dalam dan mengambil sesuatu untuk Jenn.
“Nih, Advan nitip ini.” Evan memberi sebuah bingkisan merah hati dan langsung saja Jenn membukanya. Astaga Jenn kaget sekali. Ini adalah barang-barang yang mereka beli sewaktu di Bandung. Dan satu lagi, ada sebuah surat dan sketsa wajah Jenn. Jenn membuka surat itu dengan hati-hati. Jenn melirik Evan tapi ia hanya tersenyum.
Dear Jenn
Maaf ya kalo gue kaya’ lari dari lo. Gue minta maaaaaf banget. Sebebernya ngga’ rela juga sih Jenn. Takut lo diambil orang. Hehehe #bercanda
“Lo kira gue seneng lo lari dari gue Van?” umpat Jenn dalam hati. Lalu Jenn lanjutkan membaca lagi.
Jenn sayaaaang, maaf juga ya aku ngga’ nyeritain yang sebenarnya. Aku takut bikin kamu khawatir ma akuu. #GR banget deh gue.
“Tapi jusutu kamu buat aku makin khawatir Advaaan” seruku dalam hati setengah berteriak. Air mata kini membasahi pipi Jenn lagi.
Jenn sayang,, kamu jangan ngumpat dalam hati kamu lagi ya?! Aku bakalan baik baik aja kok. Aku mau kamu mendoakanku. Agar aku bisa sembuh.
Tertanda Advan
“Kenapa lo tau Van gue ngumpat terus dari tadi? Gue masih ngga’ tau HIV/AIDS bisa disembuhin pake apa. Kalo gue tau, gue bakal ngasih itu ke elo supaya lo cepet sembuh. Kemanapun bakal gue cari Van demi lo...” Jenn semakin tak kuasa menahan air matanya. Evan lalu mendekati Jenn.
“Lo mau gue anter ke Advan?” serunya sambil merangkul Jenn.
“Ayo Evv kita kesana!”
Jenn langsung menuju RS Medical Permata. Hati Jenn terasa tak karuan. Jenn khawatir sekali. Jenn tidak mau sampai kehilangan Advan.
“Lo tenang aja Jenn. Jangan terlalu khawatir.”
“Lo bilang apa? Jangan khawatir? Itu kembaran lo Van. Adek lo. Emangnya lo seneng dia kenapa-napa?” kemarahan Jenn pun memuncak. Jenn merasa bersalah saat kata-kata itu begitu saja keluar dari mulutnya.
“Mm-maaf Van. Gue ngga’ maksud...”
“Lo bener Jenn” potong Evan berikutnya. Jenn makin merasa bersalah. Mereka kembali terdiam dalam pikiran masing-masing.
“Udah sampe Jenn” Evan mengagetkan Jenn untuk yang kesekian kalinya. Jenn langsung turun dan mencari kamar yang Evan tunjukkan.
“207.. 208..209... Ini pasti kamar Advan. ” Jenn langsung masuk saja. Jenn melihat Advan terbaring lemah. Air mata Jenn kembali keluar. Jenn langsung memeluknya.
“Advan.. Ini gue, Jenn” bisikan Jenn membuat Advan terbangun dari tidurnya. Ia tersenyum kemudian memeluk Jenn. Pelukannya begitu erat seolah ia tak mau kehilangan Jenn. Kemudian, Jenn memberanikan diri untuk menatapnya.
“Advan.. Kenapa lo ngga’ pernah cerita ke gue. Kenapa lo nyembunyiin ini dari gue. ” tangispun keluar lagi dari mata Jenn.
“Sstt ini dinikmatin dulu cintaa... Mungkin ini pelukan terakhir.” senyum termanis Advan terlihat lagi. Jenn memonyongkan bibir sambil memeluknya. Jenn merasakan hal yang sama. Tetapi Jenn harus optimis Advan pasti sembuh. Tiba-tiba ada seseorang masuk ke kamar Adavan.
“Eh nak Jenniver.. Kok dibiarin disitu sih Van.. ”
“Eh-eh tante.” Jenn tersenyum sambil menyembunyikan air matanya.
“Memang cantik ya Van orangnya. Sama persis sama apa yang sering kamu ceritain.” Mama Advan mendekati kami. Jenn lalu menyalaminya. Tante Fernita memang benar-benar cantik meskipun usianya sudah tidak muda lagi.
“Nak Jenn sudah makan belum? Makan dulu ya. Biar dianter Evan...”
“Ah ngga’ usah Tante,. Makasih banyak. Saya udah kenyang kok.”
“Kenyang dari mana lo? Dari tadi lo gue tawarin makan aja ngga’ mau.”
“Ahh sttt diem aja napa!” Jenn mencubit pelan lengan Advan.
“Van,. Nak jenn, Tante mau keluar sebentar ya. ”
“Oh ya bye ma..”
“Mari tante..”
Tante fernita meninggalkan mereka. Jenn dan Advan kembali hanyut dalam pikiran mereka masing-masing.
“Jenn gue sayang sama lo. Je t’aime. ”
“Gue juga sayang lo kok Van.. ”
“Kalo lo sayang sama gue, berarti lo juga harus bisa ngerelain gue kalo suatu saat gue pergi. ” ucapan Advan membuat detak jantung Jenn berhenti sesaat.
“Van,. Kenapa lo ngomong gitu. Gue ngga’ mau lo pergi. Yang gue mau, lo sembuh dan kita bisa sama-sama terus. ”
“Jenn ini udah waktunya. Jeenn-ni-ver-gu-e-saa-yang-elo” tiba-tiba mata Advan terpejam. Detak jantungnya pun sudah tak terdengar.
“Advaaaaannn bangun Van.. Lo jangan tinggalin gue Vannn. Aadvannn”
Jenn berteriak histeris. Baru saja ia bertemu dengan Advan, tiba-tiba sekarang Advan sudah pergi. Jauh meninggalkannya. Segera saja Evan masuk. Evan memanggil dokter dan Tante Fernita. Yang Jenn lihat, Evan hanya tertunduk lesu melihat adiknya sudah tak lagi bernyawa. Tante fernita memeluk Jenn , Ia merasakan hangat pelukan Tante Fernita. Jenn menangis melihat jasad Advan. Rasanya air mata Jenn sudah nyaris kering. Senyum simpul di wajah Advan menandakan bahwa ia tidak ingin melihat Jenn bersedih lagi.
“Jenn..” Evan memanggil Jenn. Namun Jenn menghiraukan saja panggilannya. Yang Jenn masih inginkan adalah disini. Ditempat peristirahatan Advan yang terakhir. Jenn ingin menemaninya.
“Jenn lo harus pulang. Ini udah sore.” Evan menegur Jenn sekali lagi. Jenn menggelengkan kepala. Jenn tak berminat untuk berbicara sepatah katapun pada Evan. Karena dalam diri Evan, Jenn juga melihat Advan.
“Jenn.” Evan menarik lengan Jenn. Entah mengapa kali ini Jenn menurutinya saja. Jenn merasa Advan yang menyuruhnya untuk segera pulang karena disini bukanlah tempatnya.
“Jenn” Evan memberi Jenn segelas teh hangat. Beberapa hari ini Evan sangat perhatian dengan Jenn. Setiap hari, ia datang ke rumah Jenn dan membawakan Jenn makanan, kado, film, menyalinkan catatan, tugas, semua ia lakukan agar bisa membuat Jenn kembali seperti dulu lagi. Akan tetapi Jenn masih belum bisa menerima kepergian Advan. Lambat laun Jenn mulai terbiasa. Seperti kata Evan, biarkan hidup ini mengalir apa adanya. Yang terpenting Jenn harus menatap masa depan. Sebentar lagi Jenn juga ujian. Jenn tidak ingin nilainya turun lagi seperti belakangan ini.
Hari terakhir ujian. Walaupun Jenn masih bisa bangkit tapi rasanya hati Jenn masih saja sakit. Jenn seperti melihat Advan tersenyum bahagia kepadanya. Kini tiada lagi pertengakaran hebat, tiada lagi saling taruhan nilai, yang ada hanyalah kenangan manis. Tetapi Jenn harus bangkit. Ia tak boleh terpuruk lagi. Jenn melihat Evan yang sedang duduk sendirian di taman.
“Van lo ngga’ lega?” tanya Jenn membuyarkan lamunannya.
“Gue lega Jenn. Oh iya gue mau ngomong nih.”
“Ngomong aja. ” Jenn melihat Evan dengan tatapan serius.
“Gue mau ambil kuliah di Oxford. Nyokap bokap udah nyiapin semua yang disana.”
“Jadiii lo mau pergi Van?” Jenn mengalihkan pandangannya. Ia merasa sangat sedih.
“Iya.. Maafin gue ya, gue ngga’ bisa jaga lo lagi. Jaga diri lo baik-baik.”
“Terus lo berangkat kapan?”
“Besok. Jenn gue mau siap-siap dulu ya. Bye.”
“Evan pergi? Ngga’ dia ngga’ boleh pergi.” kata Jenn dalam hati. Jenn tidak ingin kehilangan orang yang Jenn sayangi untuk yang ke dua kalinya.
“Eh Jenn lo bisa anter gue ke airport kan?”
“Mm ngga’ tau.”
Jenn segara pergi meninggalkan Evan. Evan yang melihatnya merasa sangat bersalah. Evan hanya bisa melihat kepergian Jenn tanpa bisa melakukan apa-apa. Ia menyadari sangatlah berat untuk melakukan ini. Evan lalu bergegas pergi untuk mengunjugi makam adiknya untuk sekedar berpamitan.
“Van, halo apa kabar? Lo baik-baik aja kan?” Evan berjongkok di sebelah kiri pusaran adiknya dan meletakkan setangkai mawar putih.
“Vaan, gue kesini cuma mau pamitan. Gue mau kuliah di Oxford.” raut wajah Evan begitu sedih. Disamping ia sudah tak bisa melihat dan menjaga Jenn tapi ia juga tidak bisa lagi menjenguk adiknya.
“Van.. Gue baru sadar, lo ternyata berharga banget buat hidup gue. Sekalian juga gue mau minta maaf. Gue ngga’ bisa jagain Jenn lagi buat lo. Maaf Van.” air mata Evan mengalir begitu saja. Sebelum meninggalkan pusaran Advan, Evan menggenggam tanah di makam itu seperti ia sedang memegang tangan adiknya. Ia lalu mengelus nisan adiknya dengan kasih sayang.
“Bye Van.”
Evan mencari Jenn disekitar bandara. Nampak jelas bahwa ia sangat menanti kehadiran gadis itu. Gadis yang selalu membuatnya tersenyum. Sudah lebih dari 1 jam Evan menunggu. Pesawatnya juga sudah datang. 5 menit lagi ia harus segera masuk ke pesawat. Tetapi gadis itu belum juga muncul.
“Bagi penumpang Garuda Indonesia Boeing 747 harap segera menaiki pesawat.”
Evan menaiki pesawat dengan langkah gontai. Ia akan meninggalkan Indonesia, kampung halamanya, bahkan gadis yang dicintainya. Ia mencari kursinya 18F. Namun disebelahnya diduduki oleh seorang wanita.
“Maaf permisi, boleh geser sedikit?”
“Sori nggak bisa. ” gadis itu menghadap ke wajah Evan. Betapa terkejuutnya Evan bahwa yang dilihatnya saat ini adalah gadis impiannya, Jenn.
“Kamu Jenniver Maharani?”
“Ya iya lah Evaan.. Ini gue, apa lo amnesia? Enggak kan?”
“Jenn.” Evan langsung memeluk Jenn karena merasa sangat bahagia.
“Lo ngapain disini Jenn?” wajah Evan tidak bisa menyembunyikan kebahagiaan dan kekagetannya.
“Gue mau sekolah di Oxford.” tukas Jenn yang tersenyum lebar.
“Jangan bilang, lo buntutin gue.” Evan memegang tangan Jenn dengan erat. Bersamaan dengan take-off nya pesawat. Evan melihat Advan melambaikan tangan kepada mereka.
Advan tersenyum bahagia lalu menghilang. Evan berjanji pada dirinya sendiri bahwa ia tak akan meninggalkan Jenn untuk yang kedua kalinya.
--Tamat--
0 komentar:
Post a Comment